setangkai white lily menjadi aksesori cantik di atas jubah rumput hijau segar dengan batu nisan sebagai mahkotanya .
Anin hanya diam sambil sesekali tersenyum memandangi makam almarhum kekasihnya . hatinya berkomatkamit menyatakan sesuatu yg tak bisa diungkapkan . karena dia tau , sedikit saja dia membuka mulutnya, bibirnya akan mulai bergetar dan dia akan menangis . Anin tidak mau menangis di depan Adit , sekalipun di depan makamnya .
sebuah kecupan membekas di ujung batu nisan . Anin menciumnya sesaat sebelum dirinya bangkit untuk pergi .
itulah rutinitas Anin tiap Sabtu sore . dirinya perlahan belajar untuk mengotakkan kenangan mereka berdua dalam peti kayu berhias taburan bunga dan bintang , menyegelnya , mengunci rapat , dan membuang kuncinya jauhjauh ke samudera hatinya yg terdalam agar tak ada seorang pun yg bisa menemukannya dan membukanya kembali untuk membangkitkan lagi rasa cintanya pada Adit .
Anin berjalan di sisi kanan jalan raya yang lengang sambil memeluk beberapa buku tebal . berkalikali ia menengok ke balik punggungnya , melihat apakah ada bis yg lewat . tapi nihil .
saat kepalanya kembali ke posisi semula , seorang lakilaki berdiri jauh di depannya . lakilaki itu berdiri menghadap sisi kiri jalan , tertunduk . jemari tangannya bersembunyi di balik jaket abu polosnya . langkah Anin meragu .
- hmm mencurigakan -.-" tapi biarlah , ga penting juga -
Anin kembali melangkah pasti . tapi jantungnya normal . dia berdebardebar , itu tak bisa dibohongi dan sangtlah wajar bukan ?
ketika menyalip di depan lakilaki itu , Anin tak sempat melihat seberapa garang wajahnya . ia hanya sempat mengendus aroma bunga - cemen sekali dia , aroma perempuan - setelah berhasil melewatinya dengan aman , arena pacuan kuda di dada Anin segera ditutup . Anin merogoh saku di tas kecilnya , mengambil headset untuk mendengarkan penyiar gendut kesayangannya , Mr. Ang Redup dari ponselnya .
tapi ..
"mba , bunganya"
"ah?" Anin menengok dan yg memanggilnya tadi adalah lakilaki itu .
"ini mba , bunganya" si lelaki menyodorkan setangkai mawar putih yang baru saja merekah . ia tersenyum , manis . tapi sayang , Anin tidak tergoda .
"oh , ga . makasih" ucap Anin sambil tersenyum masam . kakinya melangkah lagi .
"saya ngasih buat mba , gratis" si lelaki mengejar , dia berlari kecil menyusul Anin yg berjalan cepat .
"ga , makasih"
"ayolah mba .."
"ga usah" Anin melongok ke balik punggungnya lagi dan sebuah bis melaju dari kejauhan .
Anin berhenti dan segera melambaikan tangan cepatcepat .
"apa salahnya sih mba nerima bunga dari saya ?" nada si lelaki frustasi .
"tapi sayanya ga mau , ngerti ?"
bis berhenti tepat di depan Anin , dia melompat cepat untuk masuk dan segera duduk , "orang gila macam apa dia ? memaksa orang lain menerima bunga darinya . apa maksudnya coba ?"
"tidakkah dia mengerti arti dari setangkai mawar putih bagi orang seperti dirinya ?" si lelaki berucap kesal tanpa terdengar oleh Anin yg sudah menjauh . si lelaki pun berbalik dan membuang mawar putih itu .
Anin hanya diam sambil sesekali tersenyum memandangi makam almarhum kekasihnya . hatinya berkomatkamit menyatakan sesuatu yg tak bisa diungkapkan . karena dia tau , sedikit saja dia membuka mulutnya, bibirnya akan mulai bergetar dan dia akan menangis . Anin tidak mau menangis di depan Adit , sekalipun di depan makamnya .
sebuah kecupan membekas di ujung batu nisan . Anin menciumnya sesaat sebelum dirinya bangkit untuk pergi .
itulah rutinitas Anin tiap Sabtu sore . dirinya perlahan belajar untuk mengotakkan kenangan mereka berdua dalam peti kayu berhias taburan bunga dan bintang , menyegelnya , mengunci rapat , dan membuang kuncinya jauhjauh ke samudera hatinya yg terdalam agar tak ada seorang pun yg bisa menemukannya dan membukanya kembali untuk membangkitkan lagi rasa cintanya pada Adit .
Anin berjalan di sisi kanan jalan raya yang lengang sambil memeluk beberapa buku tebal . berkalikali ia menengok ke balik punggungnya , melihat apakah ada bis yg lewat . tapi nihil .
saat kepalanya kembali ke posisi semula , seorang lakilaki berdiri jauh di depannya . lakilaki itu berdiri menghadap sisi kiri jalan , tertunduk . jemari tangannya bersembunyi di balik jaket abu polosnya . langkah Anin meragu .
- hmm mencurigakan -.-" tapi biarlah , ga penting juga -
Anin kembali melangkah pasti . tapi jantungnya normal . dia berdebardebar , itu tak bisa dibohongi dan sangtlah wajar bukan ?
ketika menyalip di depan lakilaki itu , Anin tak sempat melihat seberapa garang wajahnya . ia hanya sempat mengendus aroma bunga - cemen sekali dia , aroma perempuan - setelah berhasil melewatinya dengan aman , arena pacuan kuda di dada Anin segera ditutup . Anin merogoh saku di tas kecilnya , mengambil headset untuk mendengarkan penyiar gendut kesayangannya , Mr. Ang Redup dari ponselnya .
tapi ..
"mba , bunganya"
"ah?" Anin menengok dan yg memanggilnya tadi adalah lakilaki itu .
"ini mba , bunganya" si lelaki menyodorkan setangkai mawar putih yang baru saja merekah . ia tersenyum , manis . tapi sayang , Anin tidak tergoda .
"oh , ga . makasih" ucap Anin sambil tersenyum masam . kakinya melangkah lagi .
"saya ngasih buat mba , gratis" si lelaki mengejar , dia berlari kecil menyusul Anin yg berjalan cepat .
"ga , makasih"
"ayolah mba .."
"ga usah" Anin melongok ke balik punggungnya lagi dan sebuah bis melaju dari kejauhan .
Anin berhenti dan segera melambaikan tangan cepatcepat .
"apa salahnya sih mba nerima bunga dari saya ?" nada si lelaki frustasi .
"tapi sayanya ga mau , ngerti ?"
bis berhenti tepat di depan Anin , dia melompat cepat untuk masuk dan segera duduk , "orang gila macam apa dia ? memaksa orang lain menerima bunga darinya . apa maksudnya coba ?"
"tidakkah dia mengerti arti dari setangkai mawar putih bagi orang seperti dirinya ?" si lelaki berucap kesal tanpa terdengar oleh Anin yg sudah menjauh . si lelaki pun berbalik dan membuang mawar putih itu .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar