Kamis, 09 Desember 2010

mengapa, hah?

entah kenapa, aneh rasanya mendengarmu akan mengunjungiku. ada apa denganmu? apa hanya karena rasa ingin tahu yang besar saja akan rumahku hingga kau tak punya pilihan lain selain berkunjung setelah kita berteman selama tiga tahun? begitu maksudmu? entahlah, hanya kau yang mampu menjawabnya.
aku bergegas pulang ke rumah, bersiap menyambutmu dengan senyum terhangat yang bisa aku berikan dan mungkin sedikit kudapan bila kau beruntung. tapi pada akhirnya, apa yang bisa aku berikan? sepertinya tak ada.
sesampainya di rumah, aku mengecek apakah ada sesuatu yang bisa disuguhkan ketika kamu datang nanti. nihil. alhasil aku hanya mencuci cangkir yang akan kamu pakai nanti sampai benar-benar terlihat cling.
tak ada makanan, tak ada apapun. aku pikir mungkin aku akan mengajakmu makan di luar saja nanti.
selebihnya, tak ada yang harus aku kerjakan. mataku lelah berkutat dengan mata kuliah yang menguras otak dan aku pun memilih untuk tidur sejenak.
sekitar satu jam aku tidur, tak ada tanda-tanda kedatanganmu, bahkan sebuah pesan singkat pun tak ada. apa kau batal mengunjungiku? mengapa tak memberiku kabar? jangan buat aku khawatir.
aku pun beranjak dari tidurku menuju beranda rumah. tak ada siapa-siapa. lebih tepatnya aku tak melihat batang hidungmu. belum.
aku mencoba memasak beberapa resep masakan dengan bahan yang ada di kulkas. sebenarnya aku tahu sebagian besar masakannya tak ada yang kau suka, terlalu banyak ikan dan kau tak menyukai itu. tapi tak apalah, daripada tak ada sama sekali pikirku.
sudah hampir dua jam tapi kau tak juga hadir. aku gelisah.
mendadak ada suara deru motor pelan yang mendekat. itukah dirimu? tapi setahuku kau tak memiliki motor dan aku pikir kau akan naik angkutan umum ke rumahku.
aku melongokkan kepala melalui pintu depan. dan ternyata benar itu dirimu, bersamanya, pacarmu.
deg. apa ini? ada apa denganku? mengapa senyum yang sudah aku siapkan tak berwujud? mengapa hanya gurat kesedihan yang sepertinya tampil di wajahku yang kini mendung?
aku pun mempersilahkan kalian masuk, tapi kalian enggan. mungkin kalian segan atau sungkan, aku tak tahu.
kau pun hanya turun dari motor dan berdiri di depan teras rumahku setelah memarkirkan motor kekasihmu, mengapa kau tak masuk? atau lebih tepatnya, mengapa kau membawanya, tak tahukah kau perasaanku? ya, kau pasti menganggapku wanita yang cukup kuat untuk melihat kalian. itu bisa dibilang makanan sehari-hariku. tapi, bisakah kau mengurangi frekuensiku melihat kalian berdua? aku cukup 'kenyang' melihatnya ketika kita bersekolah. apa saat kuliah seperti ini aku masih harus melihatnya?
kau langsung mengutarakan maksud kedatanganmu ke depan teras rumahku, ya hanya di depan teras. aku langsung mengambil sesuatu itu dan langsung menyerahkannya padamu. dan kau, kau langsung pamit. sopankah itu? atau mengapa begitu cepat?
tapi aku tak bisa menahanmu. dia masih setia menunggumu berurusan denganku di jok motornya.
kau pun berlalu dengan sepatah salam. dan selesai.
itu kunjungan pertamamu ke depan beranda rumahku. mungkinkah nanti kau akan benar-benar berkunjung ke rumahku? atau itu adalah kunjungan pertama dan terakhir kalinya?

dan kau, mengapa tidak datang sendiri? mengapa tidak mampir, setidaknya untuk minum secangkir air putih dari cangkir yang telah aku cuci? tak mengertikah kau perasaanku? aku tahu kau cukup pintar untuk sekedar mengerti apa yang terjadi selama tiga tahun ini. tak mungkin kau tak mengerti. terang-terangan aku menyukaimu. terang-terangan kau mengetahuinya. dan terang-terangan dia memakluminya. ada apa dengan kita bertiga, hah? terlalu terbukakah kita untuk saling mengetahuinya? apa yang harus aku lakukan? sebenarnya aku bosan dengan pertanyaan tak berbobot macam ini, tapi sungguh aku tak tahu apa yang mesti aku lakukan.
aku sudah mencoba melupakanmu sedari dulu, tapi tak ada guna. aku memaksa untuk menyukai orang lain, tapi hasilnya sama. dan akhirnya, aku hanya memmbiarkan perasaan ini hilang dengan sendirinya, biar perasaanku tahu rasa dan kapok mempertahankannya. tapi, apa aku benar membiarkan perasaan ini agar menghilang dengan sendirinya? atau malah membiarkan perasaan ini makin kuat? sepertinya aku membiarkan perasaan ini semakin kuat. lantas, apa yang harus aku lakukan? lagi-lagi pertanyaan lancang mengalir dari otakku. haruskah aku menghindar sampai ke luar kota seperti di film-film? atau haruskah aku mati? tidak, hidupku masih harus terus berjalan dengan baik walau kau terus memenuhi ruang di otak maupun hatiku.
hei kau, laki-laki yang entah mengapa kusukai, tak bosankah kau tinggal di otak dan hatiku secara bersamaan? tak bosankah kau mampir ke mimpi-mimpi malamku? tak bosankah kau bersikap baik padaku hingga aku berrpikiran tak ada alasan untuk berhenti mencintaimu?
ya, setelah pertanyaan-pertanyaan bodoh tak bermutu itu, akankah ada akhir yang bahagia? bila tak berakhir bahagia, mengapa kau masih berkeliling di kehidupanku? mengapa takdirku terlalu seperti ini? mengapa kau tak mencintaiku?