Kamis, 10 Maret 2011

you and me part 3

“Ok, aku pulang ya! Makasih buat undangannya dan maaf udah ngerepotin semaleman ampe tadi.” ucap Ara sembari mengangguk kecil pada beberapa orang di ruangan itu.
Beberapa dari mereka tersenyum, “Gak apa-apa. Jangan bosan main ke sini.” ujar salah seorang dari mereka.
Ara melenggangkan kakinya menuju pintu utama Radio Starbuzz FM. Setelah menutup telepon dari Dewa semalam, ia melesat ke stasiun Radio Starbuzz FM karena ada interview. Sebenarnya wawancara tersebut hanya memakan waktu kurang lebih setengah jam, tapi tumpukan surat penggemar di sudut meja salah satu rekannya di radio tersebut memaksanya untuk cepat-cepat membalas surat mereka satu per satu.
Lelah, pasti. Namun, Ara begitu beruntung karena beberapa kenalannya di sana membantunya. Dan pukul 07:30 tadi, acara balas-membalas surat itu telah tunai dikerjakan.
“Ara!” teriak seseorang dari balik punggung Ara ketika menuruni anak tangga terakhir.
Ara menengok dan mendapati seorang gadis berwajah oriental tergopoh-gopoh menghampirinya, “Rena! Apa kabar?” katanya sumringah sembari membentangkan kedua tangannya menyambut pelukan hangat dari sahabat lamanya itu.
“Ah, gak usah pake peluk-pelukan segala deh. Baru juga minggu lalu terakhir kita ketemu, kan sering banget lu ke sini.” Ara masam melihat respon temannya itu, “Sekarang lu mau kemana?”
Ara memandang Rena bingung, “Kemana? Pulanglah. Dari malem gue belom pulang dan sekarang tugas gue udah selesai, waktunya pulang dong. Mau ngapain lagi?”
Kontan Rena menoyor kepala Ara gemas, “Lu cari mati ya?”
“Cari mati apaan sih? Gak ngerti, gue kan cuma mau pulang. Emang gak boleh?” jawab Ara dengan tangan mengusap kepalanya.
“Dengerin gue, di luar ada beberapa wartawan lokal dan satu wartawan nasional – “
“Terus?” Ara masih tak mengerti maksud Rena karena seingatnya ia tak punya janji dengan wartawan hari ini.
“Juga ada fans-fans East Sea,”
“Lah urusannya sama gue apa?”
“Mereka semua nyariin lu.”
Mata Ara membelalak tak percaya, “Nyari gue? Ngapain?”
Rena tak langsung menjawab, raut wajahnya agak takut melontarkan satu kalimat kemudian, “Lu putus sama Dewa?”
“Putus? Sejak kapan? Engga. Siapa yang bikin gosip begitu?”
Rena menarik Ara agak ke sudut ruangan, “Gue denger-denger sih ya, kemaren ada cewek yang liat lu sama Dewa berantem deket halte,” Rena menarik nafas sebentar lalu melanjutkan ceritanya, “dan cewek itu bilang kalo lu mencampakkan Dewa. Liat hasilnya sekarang, dunia geger dengan kabar itu. Fans East Sea, terutama fans-nya Dewa ngerasa gak terima idolanya ditinggalin gitu aja, secara mereka aja kepengen jadi pacarnya gak bisa tapi lu yang jadi pacarnya malah ninggalin Dewa.”
Ara diam, ia masih mencerna kata-kata Rena barusan.
“Lu tuh ya, berantem mulu sih kerjaannya. Gini kan jadinya, tenar ampe jadi trending topic.” Ara yang mendengarkan hanya bisa memandang tak percaya, “Ok deh itu emang udah jadi hobi lu berdua, tapi inget kalo berantem harus tahu sikon. Lu berdua tuh lagi naik daun, ada kabar aneh dikit aja bisa ngerusak citra lu sama Dewa, Ra. Heh, denger gue ngomong gak sih lu?” ujar Rena sembari mengguncang bahu Ara.
“Gue harus gimana sekarang?” Suara Ara terdengar shock.
“Ya lu harus klarifikasilah. Tapi gue bingung ya, fans-fans cowok lu itu kok lebay banget ampe lu ‘putus’ aja heboh banget. Ngg, tapi yang pasti lu gak bisa pulang lewat pintu utama karena lu udah dijegat sama mereka dari subuh tadi. Kalo lu nekat mau pulang, lewat pintu belakang aja. Tapi gue gak jamin lu bakal selamat dari berondongan pertanyaan.”
Ara merogoh tas dan mengeluarkan kacamata bacanya, memakainya. Ia pun menggerai rambutnya yang panjang dan memakai kardigan putih gading yang sedari tadi disandarkan di lengannya.
“Gimana? Cukup tersamar gak?”
Rena memutar bola matanya, “Ya enggalah.”
PLUK!
Sebuah topi berwarna hijau lumut mendarat di kepala Ara.
“Pake ini,” ucap seorang laki-laki yang mendadak datang dari balik punggung Ara.
“Tito!” Ara tersenyum lebar melihat laki-laki bernama Tito itu, “Makasih ya, lu emang penyelamat gue.”
Tito tersenyum sembari menepuk kepala Ara, “Jangan seneng dulu. Gue cuma kasih pinjem. Ngerti?” Tito membelalakkan matanya.
Ara menyipitkan matanya, “Ah yayaya. Pinjem. Tapi makasih ya.”
“Yaudah sana pulang. Oh ya, ceritain tuh ke Dewa apa yang terjadi, gue jamin dia belum tahu tentang ini.” ujar Rena mengingatkan.
“Iya iya, gue balik ya. Dah.” Ara mulai melangkahkan kakinya menuju pintu belakang yang jarang dilewati orang.
Cepat-cepat Ara menuju halte terdekat dengan jalan menunduk, takut ada yang menyadarinya. Ia memasuki bis dan memilih duduk di bangku paling belakang. Selang sejam kemudian, ia sampai di halte yang ia tuju. Ara bergegas menuju bangunan tiga tingkat yang terkesan minimalis di ujung blok.
Ia naik ke lantai dua dan mengetuk pintunya dengan gusar.
“Heh, bangun lu, tidur aja! Buka tuh pintu.” teriak seorang laki-laki bersuara bass dari arah dalam.
“Iya, cepetan bangun. Udah siang juga. Rejeki lu dipatok ayam tahu rasa lu.” timpa suara lain.
Ara mengetuk pintu itu lagi, lebih keras.
“Aww! Yayaya, gue bangun. Rese ah lu pada.” Suara langkah kaki mendekati pintu setelah suara benda tumpul menghantam sesuatu tadi.
Laki-laki itu membuka pintu dengan sebelah tangannya, sebelah tangannya lagi sibuk menggosok kepalanya yang terasa nyeri.
Laki-laki itu mengerjapkan matanya sebentar melihat seorang gadis dengan setelan kaus putih bercorak dan rok, kardigan, kacamata, dan topi di hadapannya sembari memegang tali tas.
Tiba-tiba mata laki-laki itu membulat setelah kesadarannya sudah terpenuhi, “Ara! Kamu ngapain pagi-pagi ke sini?”
Ara mendesah, “Boleh aku jelasin di dalem? Cape nih.”
Ara duduk di sofa empuk berwarna merah sembari melepas topinya, “Haaaah capeeee.”
“Udah lama gak ketemu lu, makin cantik aja lu, Ra.” ujar Dimas sembari duduk di depan Ara.
Ara tersenyum, “Makasih, Mas Dim.”
“Ra, ngapain kamu ke sini pagi-pagi?” Dewa datang dengan membawa segelas teh beraroma chamomile untuk kekasihnya.
“Jadi aku gak boleh ke sini gitu?”
“Serius, Sayang. Ada apa?” Dewa duduk di samping Ara mencium aroma shampoo dari rambut panjangnya.
Ara menyeruput tehnya sebentar lalu meletakkannya di meja oval di depannya, “Sebenernya aku ke sini mau – “
“HAH?” teriak laki-laki bersuara bass yang sedari tadi sibuk membaca tabloid, Gilang.
“Ih, apaan sih lu, Lang. Bikin kaget aja tahu gak. Lagi serius nih dengerin si Ara cerita. Kayaknya ada berita penting.” Dimas berkomat-kamit.
“Ini jauh lebih penting dari berita apapun!”
“Berita apaan, Kak?” tanya Ara.
“Berita tentang kalian berdua.”
“APA?!” kaget Dewa. Ia beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri Gilang.
“Diem dulu, biar gue yang bacain.” kata Gilang setelah Dewa hampir merebut tabloid itu dari tangannya.
“Di sini dibilangin kalo kalian berdua kemaren terlibat pertengkaran hebat di deket halte dan berakhir dengan keputusan bahwa kalian putus,” Dewa tercengang dan pandangannya beralih pada Ara, Ara mengangguk, “dan yang bikin parah, fans-fans lu tuh, De, pada ngamuk ke si Ara kenapa ampe mutusin lu.”
Mata Dewa meminta penjelasan dari mulut kekasihnya.
“Itu yang bikin aku dateng pagi-pagi ke sini, De. Tadi pagi aku dijegat beberapa wartawan dan fans-fans kamu di stasiun radio. Mereka nunggu aku keluar dari subuh, De. Dan di bawah, aku liat beberapa orang yang bawa kamera. Kayaknya mereka wartawan juga tapi mereka nunggu kamu keluar.”
“Pinter banget kalian bikin gosip murahan kayak gitu?” suara Dimas terdengar galak.
“Aduh, Mas. Ini gak kayak yang lu pikir, ini cuma salah paham, Mas. Kita berdua baik-baik aja.”
Ara mengangguk, menyetujui apa yang dilontarkan Dewa.
Dimas menghela nafas panjang, “Ok, sekarang kalian bakal ngelakuin apa?” Dimas melunak.
“Kalo kata Rena sih, aku sama Dewa harus klarifikasi, Mas Dim.”
“Ngg, klarifikasi? Gak berlebihan tuh?” ucap Gilang yang sudah melipat tabloidnya.
“ITU SANGAT BERLEBIHAN.” tekan Dewa di setiap katanya, “Kita gak usah klarifikasi apa-apa. Biar mereka ngeliat sendiri aja gimana kita tanpa kita ngejelasinnya.”
Semuanya diam, berpikir.
“Ok, gitu aja. Daripada ditanya macem-macem ngalor-ngidul kemana-mana malah gak kelar masalahnya mending diemin aja.” kata Gilang mencoba diplomatis.
Dimas mengangguk setuju, “Lu gimana, Ra? Setuju?”
“Ngg, deal. Berarti harus siap dikuntit wartawan dan fans-fans kalian ya.” Ara menyandarkan tubuhnya.
“Bagus,” ucap Dewa yang sudah duduk di depan layar komputer, bersiap dengan game.
“Eh, Ra. Coba kamu lepas kacamata kamu deh. Kamu pake kacamata kayak kutu buku banget.” kata Dewa tanpa melepas pandangannya dari layar.
“Aku kan emang kutu buku, weeekk.” Ara menjulurkan lidahnya.
“Kamu bukan kutu buku tahu, tapi kutu rambut.”
Mata Ara kembali berkobar, “Ya, Dewa!” Ara melempar bantal sofa hingga tepat mengenai kepala Dewa, “Awas ya kamu!”
Dewa menoleh dengan tatapan ganas seolah siap membinasakan satu-satunya makhluk yang mencintainya, “Kamu yang awas, Ikan puffy-ku!” Dewa bergegas menghampiri Ara dan mengelitik perutnya.
“Dewa! Kamu mau aku makin kurus ya?!”
“Arrghh! Hei, sakit! Lepas.” Dewa merasa rambutnya rontok satu per satu atas cengkraman tak berprikemanusiaan Ara.
“Kamu duluan berenti ngelikitik aku!” ujar Ara yang tak berhenti menjambak rambut Dewa sembari berguling-guling di sofa mencoba melepaskan diri dari kelikitikan Dewa.
“Kamu dulu!”
“Kamu!”
“KAMU DULU, IKAN ASIN BABO!”
Gilang dan Dimas yang melihat tingkah mereka berdua seperti anak TK sedang bertengkar hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil berdecak bingung.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar