Kamis, 10 Maret 2011

you and me part 2

Sore ini Ara sudah siap dengan kemeja, jeans, dan sneakers-nya. Sekali lagi ia mematut dirinya di cermin, menyisir poni dengan jemarinya. Kepalanya digoyang-goyangkan, memberi efek kuncir kudanya ikut bergerak. Ia tersenyum melihat invers wajahnya, aku tidak terlalu buruk tampil boyish seperti ini.
Ia meraih tas selempang coklatnya dan melesat keluar rumah setelah berpamitan pada ibunya yang sedang menonton televisi.
Ara sampai di dekat halte pukul 15.35. Ia duduk di kursi putih di bawah pohon maple, tempat mereka biasa janjian bila akan pergi ke suatu tempat. Ia mulai mengeluarkan sebuah buku dari tasnya. Ia selalu membawa sebuah buku jika pergi kemanapun untuk menghindari kebosanan.
Buku bersampul jingga dan merah, bertitel “Padang Bulan” itu baru dibelinya beberapa hari yang lalu dan ia tak sempat membacanya karena kesibukannya meladeni acara bedah buku dan dua wawancara dadakan.
Sudah lima puluh dua halaman yang ia baca tapi Dewa belum tampak. Ara melihat jam di pergelangan tangan kirinya. Tak seperti biasanya Dewa terlambat seperti ini. Tapi Ara tak sedikitpun berniat untuk menghubungi Dewa, mereka tak terbiasa melakukan hal itu ketika hari kencan mereka.
Dua jam terlewati begitu saja. Kemana Dewa? Ara meraih ponsel di dalam tasnya, menekan-nekan keypad dengan cepat.
To: IkanAsinBabo
Aku udah bulukan nunggu kamu dua jam -.-

Ara menggigit bibirnya, resah menunggu balasan dari Dewa. Ponselnya bergetar.
From: IkanAsinBabo
Dua jam? Aduh Ra, aku lupa punya janji sama kamu. Kamu dimana sekarang?

Apa? LUPA?? Ara menggeram, keningnya berkerut dan matanya berkilat. “LUPA” minta dibakar sama gue! Arrghh!! Ara menarik nafasnya pelan, jarinya mengetikkan sesuatu cepat.
To: IkanAsinBabo
Aku di halte.

From: IkanAsinBabo
Yaudah, aku ke sana ya. Jangan marah ya, Ra.

Marah? Marah gak ya? Kalo marah, terus kalo Dewa udah datang gue langsung pergi gitu biar nandain gue marah? Cape-cape dong gue nunggu dua jam.
To: IkanAsinBabo
Aku gak marah.

Kurang lebih satu jam kemudian, Dewa datang. Langsung duduk sambil tersenyum-minta-digebukin. Ara hanya menunduk sambil menggembungkan pipinya. Jemarinya memutih di balik lembaran kertas yang ia pegang.
“Kamu tahu? Aku udah baca setengah buku ini gara-gara lama nunggu kamu.” Ara tak melepas pandangannya dari buku yang sejujurnya sudah ia tak baca sejak kedatangan Dewa.
Dewa melihat betapa tebalnya buku itu dan ia hanya menelan ludah. Lagi-lagi ia tersenyum, “Maaf ya, Sayang. Udahlah,” Dewa mengambil buku itu dari genggaman Ara dan memasukkannya ke dalam tas kekasihnya. Dewa menarik tangan Ara untuk cepat berdiri, “Ayo, kamu langsung pulang kan?”
Mata Ara membelalak dan menghentakkan tangannya, “Pulang? Aku pulang? Kita kan mau makan seafood, De. Jangan bilang kamu LUPA lagi.” Ara memberi penekanan pada kata yang menjadi musuh besarnya itu.
Dewa menepuk jidatnya, “Aduh, gimana ya?”
“Apanya yang gimana?!”
“Aku ada latihan futsal sama anak-anak,” Dewa melirik jam tangannya, “setengah jam lagi.” tambahnya.
“…”
“Maaf, Ra. Aku bener-bener lupa. Tapi aku juga gak bisa batalin karena sebentar lagi tim futsal aku ada tanding besar lawan tim lain dari luar kota.” Dewa meraih tangan Ara, matanya mencoba membujuk hati Ara yang tengah memanas.
“Kamu tuh ya, lupa lupa lupa. Kalo ga jadwal latihan band, manggung, futsal, apalagi, hah?!” keduanya terdiam, “Ah ya satu lagi, GAME! Itu bikin kamu lupa sama aku, gitu?”
“Ra, gak gitu. Kamu kan tahu kalo itu hidup aku.”
“Terserah.” Ara lagi-lagi menghentak tangannya dan berjalan menjauh dari Dewa. Meninggalkan Dewa yang mulai membalikkan badan, menuju tempat futsal.
Ara memandang gulingnya dengan tatapan jahat-marah-menusuk. Matanya seakan sudah bersiap dengan pedang paling mematikan yang pernah ada. Ia memukul guling itu bertubi-tubi.
“Arrghh!” Ara mengatur nafasnya, “Kamu tahu gak sih, De? Sebenernya aku gak marah kalo kencan kita batal kayak tadi, itu udah biasa buat aku. Aku marah sama kegiatan kamu. Dari latihan band, manggung, futsal, sampe main game. Kamu juga kuliah, De.” Ara menatap gulingnya dengan sendu, pandangannya mulai terasa kabur, “Aku gak mau kamu kecapean. Kamu bilang kamu bisa jaga diri sendiri, tapi makan aja suka lupa, gimana kamu mau jaga diri kamu, De? Aku gak mau sampe kamu sakit.” Air mata mulai menetes, mengaliri pipi mulus Ara, “Aku cuma mau kamu istirahat.”
Ara menenggelamkan wajahnya pada guling yang ia pukuli tadi, menangis sesegukan. Ponselnya berdering. Ara menghapus air matanya sebelum mengangkat telepon yang masuk.
“Sayang?” sapa sebuah suara di ujung sana.
“Iya.”
“Kamu marah ya? Maafin aku, Ra.”
“Gak kok, aku gak marah sama kamu. Udah beres latihan futsalnya?”
“Ini baru beres, aku langsung telepon kamu malem-malem gini, maaf ya. Ngg, kamu abis nangis ya? Suara kamu – “
“Ah gak kok, tadi aku makan es krim kebanyakan jadi pilek gini.”
Dewa berkerut, “Es krim kebanyakan? Kamu kesel banget ya sama aku? Maaf.”
Ara memutar bola matanya, “Aih, susah banget sih dibilangin. Aku gak marah ataupun kesel sama kamu. Udah deh, aku tutup nih teleponnya.” ancaman memang selalu menguntungkan bagi Ara.
“Ah yayaya, jangan jangan.”
“Nyetak berapa gol kamu?” ujar Ara mencoba bersikap seolah tak ada apa-apa.
“Tebak dong, biasanya kan kamu jago mainin feeling.”
“Ngg,” Ara mengetuk-etukkan jarinya di dagu, “dua puluh tiga gol. Bener gak?”
“Hahaha ih ikan puffy-ku ini pinter banget sih nebaknya. Tapi kalo angka belakangnya diilangin hahaha – “
“Hah? Maksud kamu, kamu cuma nyetak dua gol? Kok bisa? Tumben, biasanya ikan asinku paling banyak nyetak gol. Kamu malu-maluin aku aja ih yang jadi pacar kamu.”
“Gimana mau nyetak gol kalo yang muter-muter di otak aku cuma muka kamu yang cemberut setengah mati hampir mau nyekek aku kayak tadi?”
“Oh jadi kamu khawatir aku marah sama kamu ya? Hahaha.”
“Jujur nih ya, sebenernya aku lebih mengkhawatirkan nyawa aku kalau tadi kamu beneran nyekek aku. Aku heran, perempuan sadis yang punya tatapan membakar kayak kamu kok banyak penggemarnya sih.” ujar Dewa tanpa nada bersalah.
Mata Ara kembali berapi-api, “Ya, Dewa! Kamu minta aku gebukin sampe mati ya? Kamu juga, aku bingung sama temen-temen kamu yang masih aja pertahanin kamu buat jadi salah satu bagian dari mereka. Kamu kan pelupa akut. Belum lagi fans-fans cewek East Sea yang kayaknya setengah waras karena sukarela neriakin nama kamu yang menurutku ga ada tampan-tampannya.”
“Kalau gitu, berarti kamu adalah satu-satunya perempuan yang GAK WARAS karena mau jadi pacar aku.”
“Dewa!” Skak mat, wajah Ara bersemu merah ditodong seperti itu.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar