Rabu, 10 November 2010

pukul lima

Tanggal 18 September 2010.
Hari ini pun tiba, hari yang tidak aku harapkan. Aku tidak ingin hari ini ada, sungguh.

Aku berdiri menunggunya di depan pagar sekolah. Sebuah teriakan riang membuyarkan lamunanku.

"Sayang!"
"Oh, hai sayang. Kamu lama banget sih. Aku pegel nih nunggunya."
"Maaf ya sayangku," Bima mengacak-acak poniku, "tadi aku ketemu si Doni dulu."
"Mau ngapain si Doni ketemu kamu? Tumben. Dia kan musuh bebuyutan kamu."
"Dia minta maaf ma aku tadi."
"Oya? Kok bisa?"
"Bisalah, aku kan melet dia tadi malem biar dia minta maaf duluan ke aku, aku cape musuhan ma dia."
"Ih kamu mah malah becanda. Yaudah, mau kemana nih hari ini?"
"Hmm kita makan dulu yuk, laper nih."
"Ok."

Kami pun menyusuri trotoar sambil bercanda riang. Terkadang Bima memainkan kunciranku dan mengacak-acak poniku (lagi), sebuah kebiasaan buruk yang anehnya dapat membuat hatiku berpelangi.

"Pak, biasa ya. Soto mienya 2, yang satu -"
"Ga pake tomat, yang satu lagi ga pake kol." sela Pak Gukguk cepat.
Bima tersenyum, "minumnya -"
"Satu jus alpuket ekstra dingin dan satu jus mangga ga dingin, bener kan?" tebak Pak Gukguk yakin.
"Bapak kok bisa apal gitu sih? Hebat." Bima menunjukkan kesalutannya dengan mengangkat ibu jarinya ke udara.
"Ya gimana Bapak ga apal, wong Mas Bima ama Mba Astrid tiap minggu makan di sini." ungkap Bu Gukguk yang sedari tadi sibuk mengiris daging di samping sang suami.
"Mba Astridnya kenapa tuh mas? Tumben ga ikut berkicau." cekikikan kecil membuntuti kata-kata Bu Gukguk.
"Dia tuh ngambek, Bu karena ga dibayar ma Ibu dan Bapak. Liat aja tuh, tiap ke sini dia rajin banget ngelapin meja pake tissue tapi ga digaji, ya kan yang?" ujar Bima dengan tawa ditahan.
"Ah Mas Bima nih ada-ada aja."

Pak Gukguk dan istrinya kembali sibuk menyiapkan soto bagi pelanggan-pelanggannya. Warung tenda pinggir jalan Pak Gukguk memang terkenal seantero Jalan Sari Pahlawan. Selain rasa soto mienya yang lezat dan harganya yang terjangkau, para penjualnya pun ramah pada para pelanggan. Tak aneh bila Bima dan Astrid tak kapok kembali ke tempat itu.

"Kamu kenapa sih yang, kok diem aja?" tanya Bima sedikit serius.
Aku tak menjawab, aku masih terlalu sibuk dengan pikiranku.

"Pukul 5 sore, di sini. Kita akhiri semuanya." Aaaaarrggghhh kata-katanya seolah berteriak di telingaku.

"Yang?"
"Oh iya, ah itu pesenan kita datang. Ayo makaaaan." ujarku berpura-pura semangat. Aku tahu, pasti Bima merasakan keanehan dariku hari ini. Kami makan dengan keadaan hening dalam suasana ramai di pinggir jalan.

Selesai makan dan membayar, Bima menarik tanganku. Ia tak melepaskan cengkramannya sampai kami tiba di toko es krim. Dia pintar mengalihkan kesedihanku, itu yang membuat aku menyukainya. Dia mengerti apapun tanpa aku menjelaskannya.
Bima masuk ke toko es krim, meninggalkanku sendiri di depan etalase toko. Beberapa menit kemudian, Bima keluar dengan es krim coklat dan vanilla di masing-masing tangannya. Ia memberikan es krim coklat padaku dan kembali menarik tanganku.

Kami sampai di taman kota. Ia mendudukkanku di tepi danau, membiarkanku sibuk menjilati es krim. Bima duduk di sebelahku, memandangiku. Mendadak ia merogoh tasnya, mengeluarkan kamera digital yang tak pernah absen dibawanya setiap hari.

"Astriiid." panggil Bima. Sontak aku menoleh padanya dan Bima sukses memotretku yang sedang menjilati es krim. Mataku menyipit. Tiba-tiba Bima mencolek es krimnya dan menyentuh lembut pipiku membuat pipiku belepotan es krim.
"Bimaaa!" Aku marah tapi aku juga senang.

Aku mencolek es krimku dan bersiap menyerang Bima, tapi Bima bangkit dan berlari mundur.
Aku mengejarnya sambil tertawa, sedangkan dia terus memotretku sambil berlari.
Sungguh momen yang tidak ingin aku lakukan dengan orang lain.
Aku hanya ingin dia.
Aku hanya ingin Bima.

"Ahh." Bima tersandung batu dan dia terjatuh tapi aku malah tertawa.
"Kau memang ditakdirkan untuk tidak lari dariku."
Aku pun mencolek es krim lagi dan mencoret kulit pipinya yang sawo matang. Ia sudah pasrah, telentang di atas rumput dengan sedikit terengah-engah bercampur tawa.

Setelah berhasil mencoret wajahnya, aku ikut telentang di sampingnya, memandang langit sore yang memerah. Anginnya membuat aku terbuai. Dan awan-awan membentuk sebuah wajah yang sangat aku cintai, Bima.

"Pukul 5 sore, di sini. Kita akhiri semuanya." Kembali kata-kata itu melintas di kepalaku.

"Aku akui, aku memang tak bisa lari dari kamu, sayang." Aku menoleh pada Bima. Siluet wajahnya indah ditempa sinar mentari. Aku diam, berusaha membaca pikirannya.

Apa yang dia pikirkan sekarang? Apa dia ingat hari ini? Aku tak ingin mengakhirinya. Seandainya Bima bisa membaca pikiranku.

Aku melirik jam tangan kulitku. Pukul 16:47.
Sebentar lagi.

Bima bangun, duduk. Ia meraih tanganku, membuatku duduk menghadapnya. Kuda-kuda dalam dadaku sedang berlarian tanpa kontrol, hentakannya terlalu keras, membuatku sesak.

"Astrid," Bima mengambil ancang-ancang.

Tuhan, aku tidak siap.

"Beberapa menit lagi, kita akan mengakhirinya," Bima mengatur nafasnya perlahan.

Tuhan, please, berhentikan waktu dalam sepersekian detik, ubah takdirku hari ini. Atau setidaknya, perlambat waktu, ijinkan aku mempersiapkan diri mendengarnya. Aku tidak ingin ini terjadi.

Bima mengangkat pergelangan tangan kirinya, lalu ia mendesah pasti. Tangannya merajalela ke jari-jari tangan kiriku. Ia menyentuh cincin yang melingkar di jari manisku. Cincin yang ia sematkan dua tahun lalu di taman belakang sekolah.

"Astrid, sesuai perjanjian kita," Aku tak kuasa mendengarnya, telingaku terasa ciut. Aku memejamkan mata, antara tak ingin melihat matanya yang berbicara dan menyembunyikan buliran bening yang mulai membasahi pelupuk mataku.
"masa berlaku cincin ini sudah habis, tepat di hari ini, pukul 5, di sini." Bima melonggarkan cincin itu dari jariku. Melepasnya perlahan dan cincin itu bebas dari tempatnya melingkar. Air mataku mengalir tanpa perintah dan aku semakin tertunduk, tak sanggup mendengar apapun lebih dari itu.
"Sesuai permintaanmu dua tahun lalu, kita mengakhirinya," Tangisku pun pecah, aku tak mampu membendungnya. Aku menarik tanganku paksa, berusaha melepaskan genggaman Bima. Tapi tangan Bima lebih kuat menahan tanganku. Aku tak bisa pergi, aku harus menerima resikonya dan mengakui takdir.

Suasana hening memberiku kesempatan untuk mengulang masa itu. Masa dimana Bima memintaku menjadi pacar gadungannya hanya demi menghindari perjodohan keluarganya. Dan dengan bodohnya, aku menyanggupinya. Di hari ini, aku menyesal telah menyanggupinya, andai saja aku tak menyanggupinya waktu itu, aku tak akan terjerumus ke dalam surga cintanya yang sesaat dan berakhir tragis seperti ini.

Aku masih belum membuka mata ketika Bima berbicara lagi, "Tapi," mendadak sesuatu yang dingin menjalar pelan di kulit jari manis tangan kiriku.

"Ini cincin yang berlaku sekarang dan seterusnya."

Aku membuka mata dan melihat sebuah cincin putih bertahtakan satu permata kecil yang berkelap-kelip terpantul mentari sore berada di jariku.

"Aku mencintaimu, Astrid." Air mataku jatuh tak tertahankan dan aku pun tersenyum secara bersamaan. Aku memeluknya erat seolah tak ingin sedetik pun melepasnya dan Bima membalas pelukanku sambil mengacak-acak rambutku.

Bima memang laki-lakiku. Laki-laki yang mengerti apapun tanpa aku berucap.

1 komentar: